Pupuk organik, suatu upaya berdaya tanpa peran negara

Strategi Menghabisi Ibu Pertiwi 

“Bukan lautan hanya kolam susu, kail dan jala cukup menghidupi, tiada badai tiada topan kau temui, ikan dan udang menghampiri dirimu. Orang bilang tanah kita, tanah surga. Tongkat kayu dan batu jadi tanaman” 

Penggalan tulisan di atas merupakan penggalan lirik lagu dari salah satu band lawas Indonesia yang terkenal pada era 70 an “Koes Plus”. Lirik lagu tersebut menggambarkan betapa luar biasanya kekayaan alam dan kesuburan tanah yang ada negeri ini. Tentu bukan menjadi suatu hal yang berlebihan ketika band Koes Plus menuliskan lirik lagunya demikian, karena faktanya ibu pertiwi memang memiliki kekayaan alam yang melimpah. Luas hutan Indonesia yang mencapai angka 92 juta hektare (dilangsir dari laman https://www.kompas.com/sains/read/2021/12/14/190000623/negara-dengan-jumlah-hutan-terluas-di-dunia-indonesia-masuk-10besar#:~:text=Hutan%20Amazon%20adalah%20hutan%20terbesar,negara%20dengan%20hutan%20terluas%20kedua ) menempatkan Indonesia sebagai negara ke-8 yang memiliki jumlah hutan terluas di dunia. Namun di luar capaian tersebut luas hutan Indonesia mengalami penyusutan 3 juta hektare dalam 2 tahun ini, di mana pada tahun 2020 Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melaporkan Indonesia memiliki luas hutan sebesar 95 juta hektare. Penyusutan tersebut tidak lepas dari masifnya proyek-proyek strategis nasional yang sedang gencar digenjot oleh pemerintah, guna meningkatkan pendapatan ekonomi negeri ini. Dalih yang sebenarnya cukup menarik untuk ditelaah lebih mendalam, mengingat permasalahan distribusi dan transisi yang ada di negeri ini bukan hanya soal infrastruktur semata namun jua soal superstruktur birokrasi negeri ini. Peralihan lahan produksi guna mengenjot distribusi dan transisi, pada akhirnya akan menimbulkan permasalahan baru di waktu mendatang yang bernama kelangkaan. Tentu penyusutan lahan bukan hanya terjadi pada berkurangnya luas hutan semata, namun jua menyasar pada penyusutan di tanah-tanah pertanian. Interval 2021 Badan Pusat Statistik melaporkan luasan tanah pertanian mengalami penyusutan 0,14 dibandingkan tahun sebelumnya (https://ekonomi.bisnis.com/read/20211015/12/1454724/bps-sebut-potensi-luas-lahan-panen-padi-menyusut-014-juta-tahun-ini#:~:text=Trade-,BPS%20Sebut%20Potensi%20Luas%20Lahan%20Panen%20Padi%20Menyusut%200%2C14,sebesar%2010%2C52%20juta%20hektare). Penyusutan tersebut bukan hanya terjadi karena dampak proyek strategis semata, namun juga peralihan lahan pertanian menjadi pemukiman serta pabrik-pabrik industri. Tentu hal ini harusnya menjadi warning serius terutama pada upaya untuk menjaga ketahanan pangan nasional, karena semakin menyusutnya lahan produksi di tengah kebutuhan pangan yang semakin meningkat akan berdampak pada melambungnya harga kebutuhan pokok bahkan pada surplus tertentu akan menyebabkan kelangkaan pangan. Lantas apakah dalih mengalih fungsikan lahan produksi menjadi ruang distribusi dan transisi, akhirnya benar-benar meningkatkan ekonomi masyarakat di negeri ini? ataukah malah sebaliknya?

Kreatif melalui Organik. Berdaya tanpa berharap lebih pada Negara. 
Permasalahan lain yang menimpa petani di negeri ini bukan hanya berkutat pada persoalan alih fungsi lahan semata, namun masih banyak permasalahan lain yang juga seringkali membuat petani di negeri ini miris. Dari sekian banyak permasalahan yang ada, kelangkaan dan/atau mahalnya harga pupuk menjadi salah satu permasalahan yang seringkali dijumpai. Langkah pemerintah untuk memberikan subsidi pupuk melalui skema kartu tani, sejauh ini dirasa belum mampu berdampak besar bagi kaum petani. Terbatasnya jumlah pupuk yang diberikan, dibandingkan luas lahan dan jenis tanaman yang ditanam menjadi variabel yang mendukung bahwa persoalan pupuk masih menjadi salah satu persoalan besar yang dihadapi oleh petani. Pemetaan dan/atau alternatif yang disuguhkan pemerintah, belum mampu menjawab janji daripada pemerintah untuk memberikan kesejahteraan bagi kaum petani. Dalam merespon hal tersebut, muncul suatu pertanyaan “Apakah petani harus terus berharap pada pemerintah mengenai permasalahan pupuk ini?”. Sebuah pertanyaan yang memang tidak seharusnya hadir, bilamana pemerintah dan negara mampu mengakomodir permasalahan yang ada. Namun, realitanya pemerintah dan negara sampai detik ini belum mampu mengakomodir permasalahan tersebut. Bukan hadir menyelesaikan, tapi malah menambah jajaran panjang luka petani dengan proyek-proyek pembangunan infrastruktur yang mengilas lahan produktif para petani. Menjawab permasalahan pupuk, maka mungkin sudah waktunya masyarakat ataupun kaum petani mencoba berdaya tanpa kehadiran peran negara di dalamnya. Sebuah langkah yang tidak mudah memang, namun seperti yang pernah kawan penulis katakan “berharap pada negara seperti halnya berharap pada seseorang yang kita kejar. Bukannya hadir bahagia, tapi malah hadir lara. Berharap pada negara sedikit riskan kawan”, sebuah perkataan yang mungkin memang ada benarnya. Sudah waktunya masyarakat dan kaum petani memikirkan solusi dan langkah-langkah alternatif guna menjawab problematika yang ada. Salah satu langkah alternatif guna menjawab permasalahan pupuk adalah dengan memanfaatkan pupuk organik. Maupun dalam beberapa kajian ataupun riset pupuk organik belum bisa sepenuhnya mengantikan pemakaian pupuk kimia, karena kandungan zat yang ada di dalamnya. Namun setidaknya langkah penggunaan pupuk organik, dapat mengurangi kebutuhan pupuk kimia bagi petani. Hasil bumi atau tanam dari lahan yang dipupuk dengan menggunakan pupuk organik pun lebih menyehatkan, daripada lahan yang disuplai oleh bahan-bahan kimia. Dampak positif lain daripada penggunaan pupuk organik adalah ramah lingkungan dan juga dapat menjaga struktur tanah dari erosi. Maupun masa panen tidak secepat masa panen penggunaan pupuk kimia, namun setidaknya pupuk organik lebih aman dan juga murah. Bahan baku pembuatannya pun cenderung lebih mudah ditemui. Pupuk organik mungkin belum mampu sepenuhnya menjawab permasalahan mahalnya harga dan kelangkaan pupuk. Namun setidaknya penggunaan pupuk organik bisa menjadi salah satu langkah alternatif, untuk berdaya. Merdekalah petani, cinta kasih yang abadi. Tanam, rawat, dan mekarlah benih-benih kebaikan. 

Di tulis oleh Karunia Kalifah Wijaya (2019011064). Mahasiswa Fakultas Psikologi angkatan 2019. Pecinta kopi hitam dan juga rokok lintingan.

0 Comments