Matinya Gairah dalam Skat, Tembok, dan Menara gading (Memandang Pendidikan Tamansiswa dalam balutan pembangkit Araousal)

Semoga Kita Tidak Salah Mengeja

Dewasa ini kita melihat bahwa tidak ada skat perbedaan di antara pengajaran dan pendidikan. Penyeragaman dalam pakaian, standar kompetensi, serta indikator pencapaian seolah-olah turut menyeragamkan makna dari pengajaran dan pendidikan. Di dalam keseharian, ditemukan bahwasanya pengajaran dan pendidikan memiliki arti yang sama.

Jikalau kita sejenak bernostalgia ke belakang dan memandang cakrawala masa silam, Ki Hadjar Dewantara menjelaskan bahwa pengajaran dan pendidikan memiliki makna yang berbeda. Pengajaran sendiri merupakan segala bentuk pembelajaran yang berguna untuk memerdekakan kehidupan manusia secara lahir. Sementara pendidikan, merupakan segala bentuk pembelajaran yang berguna untuk memerdekakan kehidupan manusia secara batin. Pengajaran yang meliputi aspek lahiriyah, memiliki lingkup kognitif (cipta) dan psikomotorik (karsa). Sementara pengajaran yang meliputi aspek batiniah, menjadikan afektif (rasa) sebagai ruang lingkupnya.

Sistem pendidikan nasional yang hari ini menitikberatkan kepada kemampuan kognitif ataupun mengangung-agungkan softskill tanpa lebih dalam menyentuh ranah batiniah, sepertinya perlu kembali kita pertanyakan kebermaknaannya. Apakah sistem pendidikan kita hari ini yang telah tersusun dengan sedemikian sistematis dan terstruktur, benar-benar merupakan sistem pendidikan? Ataukah selama ini, kita telah salah mengeja. Jangan-jangan sistem pendidikan yang selama ini kita agung-agungkan dan puja-puja, ternyata hanya sebatas sistem pengajaran semata. Jangan-jangan lingkungan akademik kita yang menjunjung tinggi netralitas serta objektifitas ilmiah ini, pada akhirnya malah hanya sebatas menjadi wadah tanpa isi. Atau, jangan-jangan standar kompetensi yang terumuskan dalam kurikulum pendidikan yang maha agung itu, ternyata tidak lebih dari sebatas kurikulum pengajaran semata. Jangan-jangan dewasa ini tidak ada pendidikan nasional, adanya malah hanya sebatas pengajaran nasional semata. Ah, semoga saja itu hanya sebatas praduga semata.

Semoga Masih Ada Among di Perguruan Kita

Pengajaran dan pendidikan merupakan pondasi dalam proses perkembangan suatu bangsa dan negara. Bapak pendidikan nasional, Ki Hadjar Dewantara menyerukan bahwa mendidik anak sama dengan mendidik rakyat. Keadaan dalam hidup dan penghidupan rakyat di masa sekarang, merupakan buah dari pendidikan yang diterima oleh orang tua pada masa kanak-kanak. Sementara anak-anak yang sekarang menerima dan/atau mengeyam pendidikan, kelak akan meneruskan peran sebagai warga negara.[1] Baik dan buruknya suatu bangsa, tumbuh dan berkembangnya suatu negara, bergantung kepada apa dan bagaimana pengajaran dan pendidikan yang diterima oleh rakyatnya.

Pendidikan yang cenderung hanya menekankan kepada daya intelektual semata serta hanya berutat di dalam tembok-tembok sekolah tanpa turun dan berkolaborasi dengan masyarakat, akan mencetak manusia-manusia yang individualis. Pendidikan yang bersifat menara gading dan/atau menyekat antara sekolah dengan kehidupan masyarakat, tidak akan mampu melahirkan generasi yang benar-benar mampu menjawab permasalahan dan/atau problematika yang dihadapi bangsa dan negara. Malahan pendidikan yang sejatinya didayagunakan untuk hadap masalah, akan beralih fungsi menjadi biang masalah.

Selain itu, problematika lain yang dihadapi oleh pendidikan nasional saat ini adalah hilangnya jiwa merdeka dan/atau kemerdekaan anak didik. Standarisasi dan kurikulum yang diterapkan, telah merenggut kebebasan anak untuk berdialektika dan berproses. Anak didik tidak lagi memiliki kebebasan untuk menumbuh kembangkan kodrat alam yang dimilikinya, dikarenakan aturan dan/atau standar kompetensi yang telah ditetapkan di sekolah. Terseragam merupakan kata yang tepat untuk pendidikan nasional yang terjadi hari ini. Seragam bukan hanya dapat ditemukan pada pakaian anak didik semata, namun jua dalam mata pelajaran, pengembangan bakat, tingkah laku, bahkan pikiran mereka. Intervensi sekolah, universitas, guru, dosen, serta para pemangku kebijakan yang mengibaratkan anak didik sebagai gelas kosong dan terus-menerus mengisinya, tanpa merefleksi dan memaknai bahwa di dalam diri sang anak didik terdapat kodrat alam telah melahirkan generasi seragam tersebut.

Di dalam menjawab beberapa permasalahan di atas, tidak perlu terlalu jauh memandang dan/atau kembali mengimpor konsep, metode, serta sistem pembelajaran dari negara lain. Puluhan tahun silam sebelum pendidikan mengalami carut-marut serta bersifat destruktif seperti yang terjadi hari ini, bapak pendidikan nasional sekaligus mentri pendidikan pertama Ki Hadjar Dewantara telah merumuskan berbagai konsep, metode, dan/atau sistem pendidikan yang hadap masalah dan bernuansa memanusiakan. Sistem among merupakan salah satu formulasi komperhensif yang ditawarkan oleh Ki Hadjar Dewantara, untuk melahirkan manusia yang merdeka, berdikari (berdiri di kaki sendiri), serta mampu bersikap trihayu (bermanfaat bagi dirinya sendiri, bangsa, dan manusia pada umumnya).

Dalam proses implementasinya, sistem among menggunakan pancadharma sebagai nilai acuan. Selain itu, sistem among juga berlandaskan kepada trilogi kepemimpinan, tripusat pendidikan, trisakti jiwa, tringo, serta trikon. Sistem among yang memandang manusia sebagai organisme yang dinamis serta holistik bukan sebagai tanah liat yang bebas dibentuk sedemikian rupa ataupun gelas kosong yang bisa terus diisi, dapat berdayaguna untuk melahirkan manusia-manusia yang mampu berpikir kontekstual. Sistem among merupakan suatu pola dan/atau metode pendidikan yang senyata-nyatanya membebaskan.

Namun di dalam praktik nyata yang terjadi dewasa ini, sistem among tidak lagi dapat dirasakan dan ditemukan di tempat kelahirannya (perguruan tamansiswa). Pengajaran dan pendidikan yang terjadi di lingkungan tamansiswa saat ini, sama halnya dengan pendidikan dan pengajaran yang terjadi di industri sekolah dan/atau universitas lain. Perguruan Tamansiswa dewasa ini melihat anak didik bukan lagi sebagai organisme aktif yang merdeka, namun melihat anak didik sebagai organisme pasif yang bebas dibentuk dengan aturan dan/atau standar kompetensi tertentu. Perguruan tamansiswa sama dengan institusi pendidikan lain, yang menilai keberhasilan pendidikan berdasarkan pencapaian individu dalam proses peng-copy pastean pengetahuan. Selain itu Tamansiswa juga telah turut memenjarakan daya berpikir anak didiknya, dengan berlindung dibalik dalih aturan ataupun kebijakan. Aspirasi dan/atau suara nurani yang berasal dari upaya anak didik untuk membaca persoalan dan permasalahan, dengan sedemikian sistematisnya dibungkam. Tamansiswa dewasa ini tidak lebih memandang anak didik sebagai konsumen layanan perdagangan jasa bernama pendidikan. Tamansiswa tidak lagi menjadi tempat pendidikan yang beragam, namun telah berganti dan turut serta menjadi terseragam. Tetapi sekali lagi, itu hanya praduga penulis semata. Karena perkembangan dan kemajuan perguruan tamansiswa hari ini, sudah sungguh sangat luar biasa.


Oleh: Karunia Kalifah Wijaya (2019011064) Psikologi Lingkungan Paralel.

Essay 4

0 Comments