Tugas Psikologi Lingkungan Semester Genap 2020/2021
Dosen Pengampu : Arundati Shinta
Zukhruf Kalyana Mukti
2018011112
Fakultas Psikologi Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa
Yogyakarta
![]() |
Gambar: Opini.id |
Dewasa ini dengan kemajuan dan perkembangan teknologi, kita dapat menjangkau segala sesuatu yang tampak jauh. Bahkan kita dapat berkenalan dengan orang baru. Semenjak kemajuan teknologi inilah, baru ada istilah influencer.
Menurut Anjani (2020) Influencer adalah seseorang yang berpengaruh dalam penyebaran informasi dan pesan secara digital. Influencer dinilai mampu memberikan dampak bagi para pengikutnya melalui unggahan foto dan electronic word of mouth (EWom) yang mereka sampaikan di media sosial mereka. Sehingga sesuatu yang dilakukan, dipakai, dikatakan hingga pola pikir influencer tersebut akan dilihat dan ditiru banyak orang terlebih anak-anak yang masih dalam fase meniru.
Perihal influencer ini bisa kita kaji melalui teori Albert Bandura yaitu social cognitive, dimana lingkungan akan mempengahuri individu. Menurut teori ini dalam Suwartini (2016) social cognitive lebih menekankan pada perilaku seseorang dipengaruhi apa yang tampak sehingga individu belajar, mencoba memahami, dan menyadari perilaku orang lain kemudian diimitasi menjadi perilakunya sebagai respon dari suatu peristiwa.
Melalui teori ini kit belajar bahwa apa yang kita lihat, dengar, dan amati dari orang lain, bisa saja kita imitasi dan menjadi perilaku kita. Namun, sebagai individu atau pengamat yang sudah berkembang kognisinya kita mampu memilah mana yang baik atau buruk untuk di tiru atau mana yang menguntungkan atau merugikan bagi kita.
Dewasa ini pula banyak influencer yang memiliki slogan "Gue bertato tapi gak narkoba", "Gue ngomong kasar dan merokok tapi gue gak munafik". Seolah olah mereka memutihkan hal diatas hitam. hal buruk tentu tetap hal buruk, walaupun didampingkan dengan hal baik namun tetap saja tidak mengubah esensi keburukan tersebut.
Mereka juga seolah olah mengajarkan "Gak papa gue melakukan kesalahan A selama gue melakukan B,"
Padahal hemat saya, jika salah ya salah, kesalahan itu tidak hilang meski ditutup kebaikan. Jika salah tentu harus memperbaiki kesalahan, bukan mendampingi atau menutupi dengan kebaikan sehingga kesalahan tersebut ditoleransi.
Hal ini amat disayangkan karena para influencer tersebut tentunya dilihat dan ditonton banyak orang, terlebih anak-anak yang selama masa pandemi ini lebih sering menggunakan ponsel.
Salah satu artikel milik Pijar Psikologi yang saya baca mengatakan apa yang kita sering tonton, lihat, dengarkan dan baca akan masuk ke pikiran kita dan berkembang menjadi tingkah laku. Seperti yang diungkapkan teori Albert Bandura. Kita sebagai orang dewasa tentu sudah bisa memilih mana yang baik dan benar, mana yang sesuai nilai norma di masyarakat atau minimal bisa memilih siapa orang yang pantas menjadi role model kita agar kita dapat berkembang menjadi lebih baik.
Lalu, bagaimana dengan anak-anak yang kognisinya belum sempurna betul dan masih dalam tahap peniruan?
Hal ini menjadi dilema banyak orang. karena di satu sisi kita tidak dapat menghentikan perkembangan dan pertumbuhan teknologi. Sekalipun kita melarang anak-anak memegang ponsel, itu tidak menghentikannya karena ia bisa saja menetahui dari teman sebaya dan lain-lain.
Kita juga tidak bisa mengontrol influencer agar memiliki good attitude karena (sejujurnya) tingkah laku, pemikiran, perasaan dan pilihan orang lain adalah hak orang tersebut yang menentukan. Mereka tentu bebas mengekspresikan diri mereka seperti yang mereka mau (walaupun sayangnya seringkali tidak diimbangi dengan tanggung jawab sebagai influencer)
Terus gimana dong?
Cania, salah satu influencer kesukaan saya pernah mengatakan dalam salah satu kanal Youtube (yang sayangya tidak bisa saya cantumkan karena lupa di kanal mana) kurang lebih pernah mengatakan seperti ini
"Kita engga akan bisa menghentikan teknologi atau pencegah anak-anak untuk gak terpapar sepenuhnya. Dibanding melarang-larang, kenapa sih engga mengedukasi atau mendampingi aja? Kita jelaskan bahwa 'ini gak baik, ini gak sesuai, kalo kamu ngikutin ini kamu akan blablabla' jadi mereka juga akan mengerti. Kalo cuma dilarang-larang tanpa tau penyebabnya yaa mereka makin penasaran lah. bahayanya kalo mereka malah cari tau dari orang lain kayak misalnya temennya,"
Dan satu lagi. Saya percaya bahwa kita semua adalah influencer meskipun bukan dalam media sosial. Kita berpngaruh untuk teman-teman, adik, saudara bahkan orang tua tanpa kita sadari. Sikap, perilaku dan ucapan kita juga mempengaruhi mereka, maka dari itu penting untuk setiap orang memiliki cara berpikir dan berperilaku yang baik.
ingat, sebaik baiknya manusia adalah yang memberikan manfaat untuk yang lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Anjani, Sari dan Irwansyah. 2020. Peranan Influencer dalam Mengkomunikasikan Pesan di Media Sosial Instagram. Jurnal. Vol. 16. No.2. Tanggerang : Magister Komunikasi Universitas Pelita Harapan
Suwartini, Sri. 2016. Teori Kepribadian Social Cognitive: Kajian Pemikiran Albert Bandura. Jurnal Al-Tazkiah. Vol.5 no.1. Yogyakarta: Universitas Sunan Kalijaga Yogyakarta
0 Comments