Ujian Akhir Semester Genap
Psikologi Lingkungan Reguler
Dosen Pengampu : Arundati Shinta
Zukhruf Kalyana Mukti
2018011112
Fakultas Psikologi Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa
Yogyakarta
Gambar : Beritatagar.id |
Persoalan terkait lingkungan di Negara Indonesia seolah tidak ada akhirnya. Hal ini tidak terlepas dari ketidakpedulian masyarakat akan lingkungannya, sebab merawat dan menjaga lingkungan adalah tanggung jawab bersama. Sayangnya hal ini seperti tidak disadari bahkan diacuhkan oleh masyarakat kita.
Hal ini dapat dilihat dari bagaimana masyarakat kita membuang sampah sembarangan, membakar sampah seenaknya yang menyebabkan polusi hingga enggan mengelola sampahnya dengan benar. Padahal, ketidakpedulian masyarakat akan kebersihan, kesehatan dan menjaga lingkungan akan berdampak pada masyarakat itu sendiri.
Shinta, dkk (2019) mengungkapkan bahwa Indonesia berada di peringkat dua sebagai penyumbang sampah terbanyak setelah China. Tak cukup di situ, Indonesia berada di peringkat sebelas dengan kategori negara paling tercemar serta 50% penyakit yang diakibatkan oleh pencemaran itu sendiri. Hal ini menunjukan bahwa pencemaran adalah permasalahan yang serius.
Melihat dampak ini, pemerintah Indonesia berusaha untuk menangani permasalahan tersebut dengan menciptakan regulasi terkait manajemen sampah. Beberapa regulasi manajemen sampah yang diciptakan pemerintah yaitu bank sampah, sekolah ramah lingkungan bahkan hukuman dua tahun penjara. Sayangnya hal ini belum efektif untuk mengubah perilaku masyarakat yang tidak menjaga lingkungan.
Lalu dimana permasalahan terkait perilaku masyarakat kita ini? Saya berpendapat bahwa semua muaranya berasal dari pendidikan moral. Iya, pendidikan dan moral.
Rohyati, dkk (2019) mengungkapkan bahwa moral memiliki keterkaitan dengan perilaku peduli lingkungan. Ketika seseorang memiliki moral terkait nilai-nilai budipekerti, maka orang tersebut akan berusaha agar lingkungannya tidak rusak. Ia akan menyadari bahwa tindakannya mengotori lingkungan akan merusak ekosistem yang nantinya akan berimbas juga pada manusia.
Membentuk moral dapat dibangun sedini mungkin melalui pendidikan. Kita pasti mengenal bapak Pendidikan serta icon kampus kebangsaan kita, yakni Ki Hajar Dewantara. Ki Hajar Dewantara pernah mengungkapkan dalam buku Bagian Pertama Pendidikan bahwa ‘pendidikan’ yang sebenarnya adalah memperhalus budi pekerti manusia, yang artinya menciptakan moral.
Lalu bagaimana kaitannya antara pendidikan dan moral kita membuat lingkungan menjadi lebih baik?
Berdasarkan teori behavioristik yang dipelopori oleh B.F Skinner dan kawanannya (dalam Tondok, 2008) manusia dan lingkungannya saling mempengaruhi dimana individu bersifat plastis sesuai dengan lingkungan yang dimilikinya. Ketika seseorang memiliki lingkungan yang berisi teman-teman yang acuh terkait kelestarian lingkungan, besar kemungkinan orang tersebut akan terbawa pada pemikiran yang sama.
Pendekatan pemerintah yang dimulai dari atas (makro) lalu ke bawah (mikro) memiliki fokus tujuan yang terlalu luas hingga sulit mencapai perubahan.
Barangkali alasan terkait banyak regulasi yang dibuat pemerintah tidak efektif adalah karena mereka hanya memberikan kebijakan tanpa membuat perubahan pada individu-individunya. Padahal, individu-individu itu yang mempengaruhi lingkungannya.
Nah di sini lah perlunya pendidikan moral yang menyentuh jiwa-jiwa tiap individu sehingga mereka merasa memiliki kewajiban akan kebajikan.
Jika ingin membuat perubahan lebih baik, saya merasa harus dimulai dari pendidikannya. Dalam jangkauan luas, pemerintah harus membuat mata pelajaran khusus terkait pendidikan moral terkait melestarikan lingkungan, sopan santun, nilai-nilai luhur hingga saling menghargai. Sedini mungkin agar kelak generasi selanjutnya mempunyai budipekerti luhur.
Pendidikan yang kita miliki sekarang saya rasa belum cukup untuk membentuk budi pekerti. Mari kita tilik pada peraturan di Jakarta yang menghukum dua tahun penjara jika melanggar regulasi pemerintah terkait sampah.
Ki Hajar Dewantara mengatakan dalam membuat hukuman yang mendidik adalah hukuman tersebut harus saling berkaitan dengan masalah sehingga menimbulkan efek jera.
Gambar: duniaanakbelajar.id |
Misal ketika seseorang membuang sampah, hukumannya haruslah sesuai seperti memungut satu karung sampah di jalan. Bukannya penjara, mana ada hubungannya coba? Atau, jika seseorang membuang sampah di sungai, maka ia harus membersihkan sungai selama seminggu.
Tentu saja terkait menciptakan mata pelajaran khusus pendidikan moral atau regulasi terkait sampah bukanlah ranah saya sebagai mahasiswi psikologi haha.
Lalu apa sumbangsih yang dapat kita lakukan sebagai mahasiswa psikologi, sebagai kaum milenial, atau sebagai kaum milenial, deh?
Jawaban saya tetap membentuk pendidikan moral. Pasti kalian ingat kan pada tiga tempat yang menjadi pusat pendidikan seseorang? Iya. Ada keluarga, sekolah dan masyarakat. Pada tahap pendidikan yang paling rendah sekali, kita bisa memulai ‘mendidik’ orang-orang di sekitar kita dengan cara berdiskusi terkait sampah saat nongki cantik atau menasehati ketika melihat teman membuang sampah sembarangan.
Masih menurut alian behavioristik dalam Tohar (2008) perilaku membuang sampah ini adalah bentuk pembiasaan sehingga perlunya ada punishment dan reinforcement.
Ketika seseorang membuang sampah sembarangan namun tidak dinasehati atau dimarahi, maka ini akan menjadi reinforcement negatif karena sampah yang mengganggu tersebut akhirnya hilang sehingga mereka merasa nyaman.
Lain halnya jika kita nasihati terus menerus atau (jika kamu berkewenangan) menghukumnya, maka akan menjadi punishment yang membuat mereka tidak nyaman atau setidaknya memiliki kesadaran bahwa yang mereka lakukan salah.
Kita sebagai masyarakat juga dapat menerapkan pendidikan moral tersebut melalui membuat kelas-kelas kecil untuk anak-anak, membuat games-games dengan inti pendidikan moral menjaga kelestarian lingkungan dan lain-lain.
Dengan menumbuhkan bibit-bibit yang bermoral dan sadar akan kelestarian lingkungan, maka kita telah membentuk lingkungan itu sendiri agar menjadi lebih baik, karena dalam lingkungan tersebut sudah memiliki individu-individu bermoral di dalamnya.
Daftar Pustaka
Tohar dkk dalam Shinta, A. (Editor) (2019). Memuliakan sampah: Konsep dan aplikasinya di dunia pendidikan dan masyarakat. Yogyakarta: Deepublish.
https://www.researchgate.net/publication/350466459_Memuliakan_Sampah_Konsep_dan_Aplikasinya_di_Dunia_Pendidikan_dan_di_Masyarakat
Shinta, A., Daihani, D.U. & Patimah, A.S. (2019). Friendly environment waste management based on community empowerment as the basis of the health national resilience. Proceeding Optimizing Public Health for Sustainable Global Prosperity Through Innovative Collaboration. 4th International Symposium of Public Health. Griffith University, Gold Coast Campus, Queensland, Australia, October 29th-30th, pp. 6-11. https://fkm.unair.ac.id/wp-content/uploads/2020/03/Proceeding-4th-ISoPH-2019-Unair.pdf
Tondok, M. S. (2008). Menyampah, dari perspektif psikologi. Harian Surabaya Post. 20 Juli.
Ki Hajar Dewantara. 2011. Ki Hajar Dewantara, Bagian Pertama Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa
![]() |
Zukhruf Kalyana Mukti |
0 Comments