Pelanggaran mudik 2021

 

                                                        

Indonesia memiliki beragam tradisi saat lebaran tiba. Salah satunya adalah mudik. Mudik menjadi hal wajib bagi para perantau setiap tahunnya. Dua tahun berlalu, lebaran di Indonesia masih berbarengan dengan pandemi yang belum reda. “Pada lebaran kali ini pemerintah memutuskan melarang mudik bagi ASN, TNI, Polri, pegawai BUMN, karyawan swasta, dan seluruh masyarakat”, tutur Joko Widodo dalam tayangan YouTube Sekretariat Presiden, Jumat (16/4/2021).[1]

Melalui Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2020, pemerintah Indonesia membentuk Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-I9). Gugus Tugas ini berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. 7 April 2021, Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 menetapkan Surat Edaran Nomor 13 Tahun 2021 tentang Peniadaan Mudik Hari Raya Idul fitri Tahun 1442 Hijriah dan Upaya Pengendalian Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Selama Bulan Suci Ramadhan 1442 Hijriah. Selanjutnya, 21 April 2021, keluarlah Addendum surat edaran tersebut.

Jika kita ulik lebih lanjut, baik Surat Edaran Nomor 13 Tahun 2021 maupun Addendum-nya, masih memuat ambiguitas di dalamnya. Muatan materi yang tertulis masih belum sesuai dengan surat edaran pada umumnya. Surat edaran tersebut juga mengandung sanksi. Surat Edaran bersifat pemberitahuan, sanksi tidak ada di dalamnya karena bukan suatu peraturan.[2]

Surat edaran pada umumnya mempunyai muatan materi yang bisa menjelaskan atau menciptakan tata cara untuk mempermudah maupun menegaskan peraturan yang harus dilakukan. Dikarenakan sifatnya mempertegas, surat edaran dilarang menubruk apalagi menegaskan peraturan perundang-undangan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.[3]

 

Kejanggalan Surat Edaran tentang Pelarangan Mudik Tahun 2021

Jika kita mengacu pada format surat edaran Peraturan Kepala Arsip Nasional Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang Pedoman Tata Naskah Dinas, terdapat perbedaan format surat edaran yang dikeluarkan oleh Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19. Format perbedaan tersebut nampak jelas pada bagian kepala dan batang tubuh surat edaran.

Pada bagian kepala khususnya kop surat edaran dalam format Peraturan Kepala

Arsip Nasional tertulis “REPUBLIK INDONESIA” di bawah nama Lembaga yang mengeluarkan surat edaran. Tetapi, pada Surat Edaran Nomor 13 Tahun 2021 tidak terdapat “REPUBLIK INDONESIA” di bawah lembaga. Hal ini tentu tidak bisa dibenarkan. Tulisan “REPUBLIK INDONESIA” menjadi identitas, dimana lembaga yang mengeluarkan surat edaran ini masih menjadi bagian dari negara Indonesia. 

Dalam Peraturan Kepala Arsip Nasional bagian batang tubuh surat edaran tidak tertera bagian waktu, tetapi dalam Surat Edaran Nomor 13 Tahun 2021 tertera bagian waktu. Jika kita bandingkan dengan surat edaran lainnya, bagian waktu biasanya masuk dalam bagian ruang lingkup. Ruang lingkup diberlakukannya surat edaran bisa memuat tentang kegiatan, waktu, maupun tempat.

Selain itu, pada Peraturan Kepala Arsip Nasional bagian isi edaran ditulis mengenai hal tertentu yang dianggap mendesak, tapi pada Surat Edaran Nomor 13 Tahun 2021 isi edaran tidak ditulis secara singkat, padat, dan jelas. Dalam hal ini, bagian isi edaran yang dikeluarkan Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 ditulis menggunakan bagian-bagian tersendiri dengan penjelasan panjang lebar. Ketelitian, kejelasan, keringkasan, stabilitas, dan persuasif menjadi prinsip-prinsip penyelenggaraan dalam naskah dinas. Prinsip-prinsip tersebut tidak terlihat pada Surat Edaran yang dikeluarkan Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19. Artinya, isi edaran belum sesuai dengan prinsip-prinsip yang berlaku.

Surat Edaran Nomor 13 Tahun 2021 juga memuat tentang sanksi pelanggaran surat edaran. Idealnya, karena bersifat informatif, surat edaran hanya menginformasikan kepada kalangan internal dan dibatasi pada metode komunikasi resmi. Oleh karena itu, pemberitahuan tersebut tidak boleh mengatur masalah yang melebihi cakupan tanggung jawab dan melanggar peraturan perundang-undangan. Seharusnya surat edaran hanya memuat tentang larangan atau peraturan saja. Jika sudah memuat tentang sanksi maka bisa dinamakan dengan Peraturan Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19.

Angka Pelanggaran Pelarangan Mudik Tahun 2021

Hari kelima pelarangan mudik lebaran, ribuan kendaraan yang ngotot melakukan mudik berhasil diputar balik oleh Polda Metro Jaya. “Setidaknya ada 24.477 kendaraan yang diputar balik selama lima hari peniadaan mudik”, ucap Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Yusri Yunus.[4] Pernyataan tersebut memberikan gambaran untuk kita bahwa pelarangan mudik melalui surat edaran ini belum sepenuhnya maksimal dijalankan oleh masyarakat Indonesia.

Pelanggarnya mencapai beribu-ribu. Pasalnya kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tidak seperti yang masyarakat inginkan.[5] Keinginan untuk mudik lebaran tahun 2021 sangat meningkat drastis. Sebagai simbol berbakti kepada kedua orang tua serta bersilaturahmi dengan saudara[6], apapun dilakukan untuk bisa mudik. Alasan yang paling kuat terkait bandelnya masyarakat untuk tetap mudik karena pada tahun sebelumnya mereka juga tidak melaksanakan mudik.

Dalam surat edaran dituliskan sanksi bagi para pelanggar meliputi sanksi denda, sanksi sosial, sanksi kurungan, sanksi pidana sesuai dengan peraturan perundangundangan. Lebih baik dituliskan secara rinci tentang sanksi terhadap para pelanggar surat edaran ini. Pada penerapnnya, para pelanggar bisa mendapatkan sanksi yang lebih ringan bahkan sanksi yang lebih berat dari ketentuan yang ada. Ketidakjelasan sanksi menambah angka pelanggar pelarangan mudik. Para pemudik tentunya tidak memedulikan sanksi yang tidak jelas.

 

Efektivitas Peraturan Menteri Dibandingkan Surat Edaran

Surat edaran masuk dalam jenis Beleidsregels (peraturan kebijakan)[7] yang memuat suatu kebijakan administrasi. Kedudukan hukumnya setara dengan nota dinas, juknis, juklak, pedoman, pengumuman, maupun penyebutan sejenisnya.[8] Jika surat edaran digunakan menjadi landasan hukum suatu peraturan, kedudukannya kurang kuat. Ditambah lagi tidak ada penjelasan mengenai surat edaran dalam hierarki peraturan perundang-undangan Indonesia.[9] 

Berbanding lurus dengan angka pelanggaran pelarangan mudik, keberadaan surat edaran masih jauh dari kata optimal untuk mencegah masyarakat mudik. Menurut penulis, lebih baik pelarangan mudik tahun 2021 diatur dalam peraturan menteri. Ada beberapa alasan penulis mengenai peraturan menteri yang bisa dijadikan solusi dari pelarangan mudik tahun 2021.

Pertama, kekuatan hukum dari substansi peraturan menteri lebih kuat daripada surat edaran. Dimana dalam hierarki peraturan perundang-undangan, peraturan menteri berada di bawah peraturan presiden, walaupun hal ini tidak dijelaskan secara eksplisit. Substansi peraturan menteri dapat menjadi titik tolak penyelesaian masalah. Dalam hal ini penyelesaian masalah dari pelarangan mudik tahun 2021 harus benar-benar terperinci, baik dalam peraturan maupun sanksi yang mengaturnya.

Kedua, peraturan menteri sebagai peraturan pelaksanaan yang dapat dikeluarkan untuk menyelenggarakan urusan pemerintah sesuai berlangsungnya waktu, maksudnya peraturan menteri dapat dikeluarkan jika ada hal baru yang perlu diatur. 

Ketiga, peraturan menteri mempunyai ruang lingkup yang lebih luas, objek yang diatur umum, serta berlaku secara nasional. Jika dibandingkan dengan surat edaran, pemerintah daerah harus lebih gencar dalam hal sosialisasi. Peraturan menteri juga

 

memiliki akseptabilitas yang tinggi yakni diterima dari banyaknya peraturan yang landasan yuridisnya merujuk pada peraturan menteri.

Perubahan dari surat edaran menjadi peraturan menteri sangat relevan untuk dijadikan landasan hukum pelarangan mudik tahun 2021. Tentunya peraturan menteri dapat dijadikan batu loncatan dari berbagai kejanggalan dan kurangnya efektivitas surat edaran. Ibarat nasi sudah menjadi bubur, surat edaran tersebut telah dikeluarkan. Sebagai warga negara yang patuh hukum, hendaknya kita harus taat pada peraturan yang keluarkan pemerintah.

 

 

             

DAFTAR PUSTAKA

 

Jurnal

Anggono, B. D., 2018. Tertib Jenis, Hierarki, dan Materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan: Permasalahan dan solusinya. Masalah-Masalah Hukum, Januari, 47(1), hlm. 1-9.

Herawati, N., 2015. Lebaran Menjadi ‘Magnet’ untuk Mudik Masyarakat Jawa. Magistra, 27(93), hlm. 114-119.

Kristinah, M. M. & Purwoatmodjo, J., 2019. Analisis Surat Edaran Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor: SE/06/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian. Notarius, 12(1), hlm. 219-230.

Rahayu, N. F. S., Fauzi, A. M. & Aprilianti, D. A., 2021. Kebijakan Pemerintah dan Tradisi Mudik Lebaran Pada Masa Pandemi COVID-19. Supremasi, 16(1), hlm. 64-74.

Riyanto, A., 2015. Eksistensi dan Kedudukan Hukum Surat Edaran Kapolri tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech). Jurnal Cahaya Keadilan, 3(2), hlm. 1-13.

 

Artikel Internet

Bastary, M. A. S., t.thn. Mahkamah Agung Republik Indonesia: Pengadilan Tinggi

            Agama                         Palembang.                        Diakses                         dari:

https://www.pta.palembang.go.id/v2/index.php/berita/beritapengadilan/artikel/956-mengukur-kekuatan-hukum-surat-edaran [Pada tanggal 21 Mei 2021].

 

 

 

Farisa, F. C., 2021. Jokowi Tegaskan Larangan Mudik Berlaku untuk Seluruh

             Masyarakat.                                         Diakses                                          dari:

https://nasional.kompas.com/read/2021/04/16/17484461/jokowi-tegaskanlarangan-mudik-berlaku-untuk-seluruh-masyarakat?page=all [Pada tanggal 21 Mei 2021].

Nanda, A. M., 2021. Pelanggaran Mudik Dominan Dilakukan Pengendara Sepeda

             Motor.                                              Diakses                                               dari:

https://otomotif.kompas.com/read/2021/05/12/092200215/pelanggaranmudik-dominan-dilakukan-pengendara-sepeda-motor [Pada tanggal 25 Mei 2021].

 

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)

Peraturan Kepala Arsip Nasional Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang Pedoman Tata Naskah Dinas

Surat Edaran Nomor 13 Tahun 2021 tentang Peniadaan Mudik Hari Raya Idul fitri

Tahun 1442 Hijriah dan Upaya Pengendalian Penyebaran Corona Virus

Disease 2019 (COVID-19) Selama Bulan Suci Ramadhan 1442 Hijriah



[1] Fitria Chusna Farisa, Jokowi Tegaskan Larangan Mudik Berlaku untuk Seluruh Masyarakat, diakses dari https://nasional.kompas.com/read/2021/04/16/17484461/jokowitegaskan-larangan-mudik-berlaku-untuk-seluruh-masyarakat?page=all pada tanggal 21 Mei 2021 pukul 19.20 WIB.

[2] Maria Magdalena Kristinah dan Jumadi Purwoatmodjo, “Analisis Surat Edaran Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor: SE/06/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian”, Notarius, Vol.12:1, (2019), hlm.225.

[3] M. Alvin Syahrin Bastary, Mengukur Kekuatan Hukum Surat Edaran, diakses dari https://www.pta.palembang.go.id/v2/index.php/berita/berita-pengadilan/artikel/956-mengukurkekuatan-hukum-surat-edaran pada tanggal 21 Mei 2021 pukul 19.46 WIB.

[4] Aprida Mega Nanda, Pelanggaran Mudik Dominan Dilakukan Pengendara Sepeda Motor, diakses dari https://otomotif.kompas.com/read/2021/05/12/092200215/pelanggaran-mudikdominan-dilakukan-pengendara-sepeda-motor pada tanggal 25 Mei 2021 pukul 13.52 WIB.

[5] Nuria Febri Sinta Rahayu, dkk, “Kebijakan Pemerintah dan Tradisi Mudik Lebaran Pada Masa Pandemi COVID-19”, Supremasi, Vol.16:1, (April, 2021), hlm.71.

[6] Nanik Herawati, “Lebaran Menjadi ‘Magnet’ untuk Mudik Masyarakat Jawa”, Magistra, Vol.27:93, (September, 2015), hlm.116-117.

[7] Bayu Dwi Anggono, “Tertib Jenis, Hierarki, dan Materi Muatan Peraturan PerundangUndangan: Permasalahan dan solusinya”, Masalah-Masalah Hukum, Jilid 47, No.1, (Januari, 2018), hlm.2.

[8] Agus Riyanto, “Eksistensi dan Kedudukan Hukum Surat Edaran Kapolri tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech)”, Jurnal Cahaya Keadilan, Vol.3:2, (2015), hlm.6.

[9] Lihat kembali Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

0 Comments