LIKA LIKU KEHIDUPAN PEMULUNG DI KOTA YOGYAKARTA

 

Psikologi Lingkungan Pararel
Semester : Genap 2022
Essay 2
Galang Pangestu
2018011184
Fakultas Psikologi Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa
Yogyakarta

 


Pendahuluan

        Pemulung adalah seseorang yang mengambil dan mengumpulkan barang-barang bekas yang sudah tidak terpakai atau terbuang oleh orang lain untuk dapat digunakan kembali maupun di jual kembali untuk di produksi ulang, biasanya pemulung mengambil barang-barang tersebut di tempat sampah, dipinggiran jalan dan tempat pembuangan akhir. Pemulung adalah golongan sosial yang memiliki usaha mengumpulkan barang bekas. Mereka mengambil berbagai barang bekas yang diambil dari jalan, tempat pembuangan sampah, pekarangan rumah penduduk, pasar, terminal, pertokoan, stasiun, bandara, tempat wisata, rumah ibadah, sekolah, kampus dan pemakaman(Azhari, 2009).

      Kehidupan pemulung dari sisi sosial sering kali dipandang sebelah mata oleh sebagian orang karena dianggap kotor, dekat dengan penyakit dan memberikan pendapatan rendah. Meskipun demikian beberapa orang tetap menekuni pekerjaan sebagai pemulung dilakukan atas dasar terpaksa atau sukarela(Lestari Sukarniati et al., 2017). Kegiatan seperti mengambil sampah dan mengumpulkannya dapat membuat badan jadi kotor dan memalukan seperti halnya seorang pemulung(Ali & Hasan, 2019). Kehidupannya yang tidak dapat dipisahkan dari benda-benda dan barang kotor saat memilih-milih sampah membuat mereka juga dianggap sebagai orang yang kotor, jorok, dan mempunyai pola hidup yang tidak sehat.

Stigma Buruk

     Menurut pendapat dari narasuumber  yaitu bapak S adalah pemulung kota Yogyakarta yang setiap hari mengambil sampah-sampah di setiap sudut kota, beliau menceritakan lika liku kehidupannya sebagai seorang pemulung mulai dari sejak dirinya remaja hingga sekarang yang dikaruniai seorang anak.

      Menurut bapak “S” stigma buruk pada pemulung sudah melekat di masyarakat Yogyakarta, Jones (1984 dalam Koesomo, 2009) menyatakan bahwa stigma adalah penilaian masyarakat terhadap perilaku atau karakter yang tidak sewajarnya. Stigma adalah fenomena sangat kuat yang terjadi di masyarakat, dan terkait erat dengan nilai yang ditempatkan pada beragam identitas sosial (Heatherton, et al, 2003). Bapak “S” menceritakan tentang keprihatinannya terhadap sikap masyarakat Yogyakarta yang sangat kurang menghargai seorang pumulung dan menganggap rendah  seperti sikap jijik terhadap pemulung karena bergelut dengan sampah-sampah. Tak hanya itu bapak “S” juga prihatin terhadap prilaku masyarakat Yogyakarta, pasalnya banyak sekali perumahan-perumahan di Yogyakarta yang banyak memasang plang “Pemulung dan Pengemis dilarang masuk”, yang membuat beliau sakit hati karena merasa tidak bersalah namun tidak diperbolehkan masuk padahal hanya ingin mencari rezeki ditumpukan sampah.

Pola 3R

   Bapak “S” juga menceritakan bahwa dirinya hanya memungut sampah yang punya nilai ekonomi seperti barang berbahan plastik, besi, kertas, dan barang yang bisa dijual dan laku lagi kepada pengepul perorangan maupun pengepul perkelompok dan menjual ke Bank Sampah untuk dan bahan bahan tersebut dapat didaur ulang kembali. Uang dari hasil tersebut juga akan digunakan untuk menafkahi kelurganya dirumah.

Kesimpulan

    Suka atau tidak suka, pemulung merupakan orang yang setiap hari mendedikasikan waktu dan energi mereka untuk membersihkan sampah orang lain. Bagong menyebut “Pemulung adalah pahlawan program 3R (reduce, reuse, dan recycle) yang diamanatkan oleh Undang-Undang Pengelolaan Sampah.” Celakanya, pemerintah justru abai dan kurang memperhatikan aktifitas serta ruang gerak pemulung.

    Karena itu, menarik untuk dicermati ketika pemulung dianggap sebagai masalah yang muncul dari masalah pengelolaan sampah yang tidak memisahkan sampah organik dan non-organik. Bagaimana pun, keduanya merupakan hubungan sebab-akibat. Eksistensi pemulung untuk mengelola sampah merefleksikan aksi nyata dari slogan pengelolaan sampah berkelanjutan. Di tengah stigma negatif terhadap pemulung, pekerjaan ini justru menjadi semacam setali tiga uang dalam menyelesaikan permasalahan sampah di wilayah perkotaan.


Daftar Pustaka

Siti, H., (2020). Kehidupan Sosial Ekonomi Pemulung Di Tempat Pembuangan Ahir (TPA) Kelurahan Sitimulyo Piyungan Bantul Yogyakarta. UIN Raden Intan Lampung. Islamic Management and Empowerment Journal. 2(1), 81-92. DOI: 10.18326/imej.v2i1.81-92.

Koesomo, R. F. P. 2009. Pengalaman Keluarga dalam Merawat Anak dengan Autisme di Sekolah Kebutuhan Khusus Bangun Bangsa Surabaya. Depok: FIK UI. Tesis


Penulis



0 Comments