Persepsi dan Sikap terhadap Jumlah Anak
Tugas Psikologi Lingkungan Semester Genap 2020/2021
Dosen Pengampu : Arundati Shinta
Oleh : Muthi’ah Muliana/2018011096/Fakultas Psikologi Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa
Pernikahan adalah salah satu hal yang dinantikan oleh semua orang. Karena dengan menikah kita dapat membentuk sebuah ikatan kecil yang biasanya disebut dengan keluarga. Seperti yang dikemukakan oleh Oktarina dkk (2015) bahwa pernikahan adalah salah satu budaya dan bagian dari kehidupan sebagai landasan terbentuknya sebuah keluarga. Dalam sebuah keluarga biasanya terdiri dari ayah, ibu, anak-anak dan orang satu rumah yang menjadi tanggungan (Atabik & Mudhiiah, 2014).
Berbicara tentang anak, setiap orang memiliki harapan dan persepsinya masing-masing. Ada yang memiliki persepsi bahwa menikah tidak harus memiliki keturunan, ada juga yang mengupayakan sedemikian rupa agar mendapatkan keturunan. Bagi seorang wanita, memiliki keturunan dari rahimnya sendiri adalah salah satu bukti bahwa dirinya terlahir sebagai wanita seutuhnya. Dilihat dari data TFR hasil SDKI 2017, Indonesia memiliki angka fertilitas total (TFR) 2,4. Sedangkan di Daerah Istimewa Yogyakarta sebesar 2,2 (BKKBN, 2019). TFR sendiri adalah jumlah rata-rata anak yang dilahirkan oleh seorang wanita dimasa usia suburnya (Netral, 2019). Dengan begitu, wanita di DIY rata-rata akan melahirkan 2 anak yang akan menggantikan orangtuanya. Sesuai dengan tagline BKKBN, pasangan suami istri dihimbau untuk memiliki “Dua Anak Cukup”. Meskipun telah ada himbauan pemerintah untuk melaksanakan KB, namun tidak sedikit masyarakat yang memiliki anak lebih dari 2. Hal tersebut bisa disebabkan karena masyarakat menganggap memiliki banyak anak akan menambah rejeki dan bisa merawat mereka ketika mereka tua nanti. Seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh Putri (2014), masyarakat desa cenderung menjadikan anak sebagai jaminan masa tua. Masyarakat pedesaan juga memiliki karakteristik menginginkan jumlah anak yang banyak (Oktriyanti dkk, 2015).
Posisi urutan anak juga biasnaya menentukan perannya dalam sebuah keluarga. Sebagai anak kedua sekaligus terakhir, biasanya diharapkan menjadi lebih dari anak pertama. Dan hal tersebut adalah tanggungjawab yang besar. Namun semua tentunya memiliki porsi masing-masing dan harus diterima apa adanya. Karena setiap manusia diciptakan berbeda-beda.
Daftar Pustaka
Atabik, Ahmad, & Mudhiiah, Khoridatul. (2014). Pernikahan dan Hikmahnya Perspektif Hukum Islam. YUDISIA : Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam (Vol 5, No 2, pp. 286-316)
BKKBN. (2019). Melihat TFR Indonesia dalam Konteks Global. Jakarta: Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional.
Netral, Agus. (2019). Melihat TFR Indonesia dalam Konteks Global. Jakarta: Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. http://ntb.bkkbn.go.id/?p=1512.
Oktarina, Lindha Pradhipati., Wijaya, Mahendra, & Demartoto, Argyo. (2015). Pemaknaan Perkawinan: Studi Kasus pada Perempuan Lajang yang Bekerja di Kecamatan Bulukerto Kabupaten Wonogiri. Jurnal Analisa Sosiologi (Vol 4, No 1, pp. 75-90).
Oktriyanto., Puspitawati, Herien, & Muflikhati, Istiqlaliyah. (2015). Nilai Anak dan Jumlah Anak yang Diinginkan Pasangan Usia Subur di Wilayah Pedesaan dan Perkotaan. Jurnal Ilmu Keluarga dan Konseling (Vol 8, No 1, pp. 1-9)
Putri, Chayang Yanisa Yunika Prestiche. (2014). Hubungan Persepsi Nilai Anak dengan Jumlah dan Jenis Kelamin Anak yang Diinginkan Pada Wanita Usia Subur Pranikah di Pedesaan. Jurnal Biometrika dan Kependudukan (Vol 3, No 1, pp. 20-27)
![]() |
Penulis |
0 Comments